MYTH, SIGN & SPECULATE

Kapallorek Artspace | March 4, 2017 | ART EXHIBITION

Click image to preview

MYTH, SIGN & SPECULATE

“MEMAKNAI KETIDAKPASTIAN MERAYAKAN KEHIDUPAN”

Adalah Imam Santoso dan Shahrul Hisham, dua perupa muda kontemporer dari dua negara sahabat Indonesia dan Malaysia, menggelar sebuah pameran bersama dengan tajuk Myth, Sign, and Speculate. Lewat pameran ini, keduanya berupaya menerjemahkan makna yang mereka temukan dari perjalanan hidup sehari-hari ke dalam bahasa visual. Isu tentang kehidupan manusia yang sarat dengan mitos, tanda, dan spekulasi tertuang dalam duabelas karya mereka.

Di dalam banyak kebudayaan, mitos seringkali dipercayai sebagai hal yang samar, tetapi juga secara bersamaan diyakini secara berjama’ah oleh para pendukungnya. Dua sisi yang tampak kontradiktif, tetapi demikian adanya yang terjadi di masyarakat. Hal-hal yang tampaknya sederhana dan menjadi bagian dari realitas sehari-hari bukanlah tanpa makna. Manusia berusaha menemukannya lewat tanda yang bisa diakses dan diterima oleh seluruh inderanya. Hal ini tidak terlepas dari konsep budaya yang menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna yang terkandung dalam suatu tanda.

Imam, yang dalam keseharian adalah konservator di Museum Nasional Indonesia, mencoba menangkap “suara-suara” yang ia dengar dari koleksi-koleksi museum. Ia sangat beruntung mendapatkan kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan koleksi. Kedekatan jarak ini menginspirasinya untuk melahirkan empat buah karya.

Dalam Sound of Dinamism, ia menggambarkan pengalamannya saat menangkap keriuhan suara yang amat sangat dari beragam koleksi museum, namun ia hanya merasakan pesan yang samar dari suara-suara itu. Keriuhan inilah yang ia deformasi ke dalam bentuk binatang-binatang imajiner. Dengan apik dan detail misalnya, ia mampu memadukan penggambaran koleksi meriam dengan kepala binatang. Ada pula penggambaran sosok manusia purba, rumah roh, dan objek-objek lainnya tampak saling berlomba untuk bersuara keras dan menonjolkan diri. Imam meyakini koleksi-koleksi museum memiliki bahasanya sendiri, namun sementara ini baru bisa didengar dan belum dapat dipahami.

Karya kedua, Pieces of History, terdiri dari enam lukisan terpisah tapi secara visual adalah satu penggambaran yang utuh. Gambaran koleksi semisal perahu arwah dan bagian kuburan dari Toraja berpadu dengan gambaran gunung dan hewan-hewan imajiner. Imam terinspirasi dari koleksi etnografi museum yang sangat beragam. Imam merasakan cerita dan informasi mengenai koleksi-koleksi ini masih berupa kepingan dan belum dapat ditangkap secara utuh. Bagian-bagian sejarah koleksi inilah yang dicoba untuk disusun.

Melalui Stay Exist, Imam menampilkan keberaniannya untuk melakukan rekontekstualisasi bunga kamboja. Bunga ini tumbuh subur di Indonesia dan seringkali dihadirkan dalam atraksi budaya. Objek yang sama, yakni bunga kamboja, dimainkan ke dalam konteks budaya yang berbeda, yaitu Hindu, Islam, dan kontemporer. Pada budaya Hindu bunga ini wajib ada dalam berbagai upacara keagamaan yang agung dan sakral. Dalam budaya Islam bunga ini maknanya sangat dekat dengan kematian. Sementara itu dalam budaya kontemporer masa kini, kamboja dapat dimaknai sebagai apa saja, termasuk dimaknai secara imajiner. Oleh Imam bunga imajiner ciptaannya ini digambarkan sebagai bunga bundar kemerahan yang sangat berbeda dengan bunga kamboja aslinya. Ia berhasil memaknainya dengan konteks dirinya sendiri yang penuh fantasi.

Karya keempatnya berjudul Finding Losing Finding menampilkan rekaannya akan konsep naga. Ia mencipta kisah tentang naga yang berasal dari dunia Barat dengan karakter hitam dan jahat. Sementara itu, di dunia Timur naga adalah sosok yang baik dan positif. Sang naga pun melakukan perjalanan ke Timur dan karakternya pun berubah seiring konteks yang ada di dunia tersebut. Naga yang merupakan makhluk imajiner, oleh Imam diimajinasikan kembali. Dari sesuatu yang tidak ada, kemudian direka, lantas hilang, dan kemudian dicipta kembali untuk menjadi ada. Dalam tampilan visual, karya panel ini terdiri dari 14 karya drawing yang terpisah tetapi tetap satu kesatuan utuh.

Sementara itu, Shahrul Hisham menampilkan delapan karya yang bersandarkan pada ide pengembaraan. Sebagai pengajar seni di UITM Kelantan, ia setiap akhir pekan kerap melakukan perjalanan dari Kelantan ke Kuala Lumpur dengan bus selama 8 jam untuk bertemu keluarganya. Saat menjadi musafir itulah ia banyak melihat tanda yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi. Perjalanan ini juga kerap ia rasakan seperti menembusi tiap-tiap chapter dalam karya sastra. Masuk ke dalam sebuah bab, berakhir, dan memulai bab baru. Sebuah pencarian akan identitas dan tempat menetap yang sebenarnya ia sadar betul itu adalah hal yang ambigu dan absurd.

Untuk menunjukkan visi dan identitas karya-karyanya, Shahrul menggunakan kata “the great” dalam tiap-tiap judulnya, seperti The Great Bender, The Great Naturalist, The Great Dreamer/ Walker, The Great Spy, The Great Taste Tester, The Great Landscape Gardener, dan The Last Great Catch-up. Sedangkan satu karya berjudul Broken Transmission. Kata “the great” ini merupakan angan-angannya atau mitos dalam memandang hal sekitar. Bisa juga pikirannya sendiri ketika bermonolog atau menyindir diri-sendiri saat bermusafir. Seperti ketika memperhatikan gelagat orang, kemudian ia menerka-nerka tentang orang tersebut, seperti pekerjaannya, usianya, atau apapun. Ia menggambarkan situasi ini berdasar observasi personal yang bersifat otomatis. Bagi Shahrul ini adalah pemahaman mitos dan spekulasi yang direkamkan sebagai bentuk melodrama dan melankolik.

Selain menangkap tanda yang banyak bertebaran sepanjang jalan kemusafirannya, Shahrul pun memberi tanda pula dalam karya-karyanya. Salah satunya, ia memilih menggunakan aerosol spray yang bernuansa grafiti untuk menunjukkan tanda dan identitasnya itu. Ia menggunakan warna-warna neon yang terang dan menonjol dengan maksud untuk memberi inspirasi “spectrum orbiter”. Seperti halnya subculture yang bersifat sementara, atau dapat pula menjadi ruang protes untuk menunjukkan keberadaan dirinya.

Shahrul juga tak lupa menggambarkan bahwa perjalanan tidak senantiasa terus berjalan. Terkadang dibutuhkan rehat sejenak. Berhenti tetapi tidak untuk berhenti. Di saat-saat itulah manusia dapat berefleksi tentang perjalanan yang telah dilalui dan memikirkan segala hal tentang apa akan terjadi di depan. Tentu saja, bagi Shahrul, pemikiran-pemikiran ini tetap selalu berlandaskan pada ajaran Islam dan Allah dengan harapan perjalanan kehidupannya lancar. Perasaan ini ia visualkan ke dalam karyanya yang menghadirkan penggambaran sosok berhelm seperti astronot atau orang yang melakukan motorcycle touring sebagai simbol “missed places” dan “unexpressions” ini.

Karya-karya Imam dan Shahrul seakan menceritakan karakter dari keduanya yang cenderung memilih bermain di belakang layar. Seperti pertunjukan wayang, karya-karyanya seakan menjadi bayangan yang terpancar dengan jelas di layar. Bagi mereka, untuk menjadi ada tidak harus selalu menampilkannya dengan nyata. Secara keseluruhan, karya mereka menggambarkan pencarian manusia akan makna dan perjalanan kehidupan yang penuh ketidakpastian. Manusia hanya mampu menangkap tanda dan menjelaskan maknanya dengan meraba-raba. Semua hal dalam kehidupan tampak berserak, riuh, semacam puzzle yang terpecah namun saling terhubung dan terjalin. Namun demikian, ketidakpastian justru menimbulkan harapan akan adanya masa datang. Seperti demikianlah karya seni rupa diciptakan dan diapresiasi untuk terus-menerus membersamai dan merayakan kehidupan. Salam.

 

Mawaddatul Khusna Rizqika

Februari 2017

 

 

 

MYTH, SIGN & SPECULATE

“MEMAKNAI KETIDAKPASTIAN MERAYAKAN KEHIDUPAN”

Adalah Imam Santoso dan Shahrul Hisham, dua perupa muda kontemporer dari dua negara sahabat Indonesia dan Malaysia, menggelar sebuah pameran bersama dengan tajuk Myth, Sign, and Speculate. Lewat pameran ini, keduanya berupaya menerjemahkan makna yang mereka temukan dari perjalanan hidup sehari-hari ke dalam bahasa visual. Isu tentang kehidupan manusia yang sarat dengan mitos, tanda, dan spekulasi tertuang dalam duabelas karya mereka.

Di dalam banyak kebudayaan, mitos seringkali dipercayai sebagai hal yang samar, tetapi juga secara bersamaan diyakini secara berjama’ah oleh para pendukungnya. Dua sisi yang tampak kontradiktif, tetapi demikian adanya yang terjadi di masyarakat. Hal-hal yang tampaknya sederhana dan menjadi bagian dari realitas sehari-hari bukanlah tanpa makna. Manusia berusaha menemukannya lewat tanda yang bisa diakses dan diterima oleh seluruh inderanya. Hal ini tidak terlepas dari konsep budaya yang menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna yang terkandung dalam suatu tanda.

Imam, yang dalam keseharian adalah konservator di Museum Nasional Indonesia, mencoba menangkap “suara-suara” yang ia dengar dari koleksi-koleksi museum. Ia sangat beruntung mendapatkan kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan koleksi. Kedekatan jarak ini menginspirasinya untuk melahirkan empat buah karya.

Dalam Sound of Dinamism, ia menggambarkan pengalamannya saat menangkap keriuhan suara yang amat sangat dari beragam koleksi museum, namun ia hanya merasakan pesan yang samar dari suara-suara itu. Keriuhan inilah yang ia deformasi ke dalam bentuk binatang-binatang imajiner. Dengan apik dan detail misalnya, ia mampu memadukan penggambaran koleksi meriam dengan kepala binatang. Ada pula penggambaran sosok manusia purba, rumah roh, dan objek-objek lainnya tampak saling berlomba untuk bersuara keras dan menonjolkan diri. Imam meyakini koleksi-koleksi museum memiliki bahasanya sendiri, namun sementara ini baru bisa didengar dan belum dapat dipahami.

Karya kedua, Pieces of History, terdiri dari enam lukisan terpisah tapi secara visual adalah satu penggambaran yang utuh. Gambaran koleksi semisal perahu arwah dan bagian kuburan dari Toraja berpadu dengan gambaran gunung dan hewan-hewan imajiner. Imam terinspirasi dari koleksi etnografi museum yang sangat beragam. Imam merasakan cerita dan informasi mengenai koleksi-koleksi ini masih berupa kepingan dan belum dapat ditangkap secara utuh. Bagian-bagian sejarah koleksi inilah yang dicoba untuk disusun.

Melalui Stay Exist, Imam menampilkan keberaniannya untuk melakukan rekontekstualisasi bunga kamboja. Bunga ini tumbuh subur di Indonesia dan seringkali dihadirkan dalam atraksi budaya. Objek yang sama, yakni bunga kamboja, dimainkan ke dalam konteks budaya yang berbeda, yaitu Hindu, Islam, dan kontemporer. Pada budaya Hindu bunga ini wajib ada dalam berbagai upacara keagamaan yang agung dan sakral. Dalam budaya Islam bunga ini maknanya sangat dekat dengan kematian. Sementara itu dalam budaya kontemporer masa kini, kamboja dapat dimaknai sebagai apa saja, termasuk dimaknai secara imajiner. Oleh Imam bunga imajiner ciptaannya ini digambarkan sebagai bunga bundar kemerahan yang sangat berbeda dengan bunga kamboja aslinya. Ia berhasil memaknainya dengan konteks dirinya sendiri yang penuh fantasi.

Karya keempatnya berjudul Finding Losing Finding menampilkan rekaannya akan konsep naga. Ia mencipta kisah tentang naga yang berasal dari dunia Barat dengan karakter hitam dan jahat. Sementara itu, di dunia Timur naga adalah sosok yang baik dan positif. Sang naga pun melakukan perjalanan ke Timur dan karakternya pun berubah seiring konteks yang ada di dunia tersebut. Naga yang merupakan makhluk imajiner, oleh Imam diimajinasikan kembali. Dari sesuatu yang tidak ada, kemudian direka, lantas hilang, dan kemudian dicipta kembali untuk menjadi ada. Dalam tampilan visual, karya panel ini terdiri dari 14 karya drawing yang terpisah tetapi tetap satu kesatuan utuh.

Sementara itu, Shahrul Hisham menampilkan delapan karya yang bersandarkan pada ide pengembaraan. Sebagai pengajar seni di UITM Kelantan, ia setiap akhir pekan kerap melakukan perjalanan dari Kelantan ke Kuala Lumpur dengan bus selama 8 jam untuk bertemu keluarganya. Saat menjadi musafir itulah ia banyak melihat tanda yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi. Perjalanan ini juga kerap ia rasakan seperti menembusi tiap-tiap chapter dalam karya sastra. Masuk ke dalam sebuah bab, berakhir, dan memulai bab baru. Sebuah pencarian akan identitas dan tempat menetap yang sebenarnya ia sadar betul itu adalah hal yang ambigu dan absurd.

Untuk menunjukkan visi dan identitas karya-karyanya, Shahrul menggunakan kata “the great” dalam tiap-tiap judulnya, seperti The Great Bender, The Great Naturalist, The Great Dreamer/ Walker, The Great Spy, The Great Taste Tester, The Great Landscape Gardener, dan The Last Great Catch-up. Sedangkan satu karya berjudul Broken Transmission. Kata “the great” ini merupakan angan-angannya atau mitos dalam memandang hal sekitar. Bisa juga pikirannya sendiri ketika bermonolog atau menyindir diri-sendiri saat bermusafir. Seperti ketika memperhatikan gelagat orang, kemudian ia menerka-nerka tentang orang tersebut, seperti pekerjaannya, usianya, atau apapun. Ia menggambarkan situasi ini berdasar observasi personal yang bersifat otomatis. Bagi Shahrul ini adalah pemahaman mitos dan spekulasi yang direkamkan sebagai bentuk melodrama dan melankolik.

Selain menangkap tanda yang banyak bertebaran sepanjang jalan kemusafirannya, Shahrul pun memberi tanda pula dalam karya-karyanya. Salah satunya, ia memilih menggunakan aerosol spray yang bernuansa grafiti untuk menunjukkan tanda dan identitasnya itu. Ia menggunakan warna-warna neon yang terang dan menonjol dengan maksud untuk memberi inspirasi “spectrum orbiter”. Seperti halnya subculture yang bersifat sementara, atau dapat pula menjadi ruang protes untuk menunjukkan keberadaan dirinya.

Shahrul juga tak lupa menggambarkan bahwa perjalanan tidak senantiasa terus berjalan. Terkadang dibutuhkan rehat sejenak. Berhenti tetapi tidak untuk berhenti. Di saat-saat itulah manusia dapat berefleksi tentang perjalanan yang telah dilalui dan memikirkan segala hal tentang apa akan terjadi di depan. Tentu saja, bagi Shahrul, pemikiran-pemikiran ini tetap selalu berlandaskan pada ajaran Islam dan Allah dengan harapan perjalanan kehidupannya lancar. Perasaan ini ia visualkan ke dalam karyanya yang menghadirkan penggambaran sosok berhelm seperti astronot atau orang yang melakukan motorcycle touring sebagai simbol “missed places” dan “unexpressions” ini.

Karya-karya Imam dan Shahrul seakan menceritakan karakter dari keduanya yang cenderung memilih bermain di belakang layar. Seperti pertunjukan wayang, karya-karyanya seakan menjadi bayangan yang terpancar dengan jelas di layar. Bagi mereka, untuk menjadi ada tidak harus selalu menampilkannya dengan nyata. Secara keseluruhan, karya mereka menggambarkan pencarian manusia akan makna dan perjalanan kehidupan yang penuh ketidakpastian. Manusia hanya mampu menangkap tanda dan menjelaskan maknanya dengan meraba-raba. Semua hal dalam kehidupan tampak berserak, riuh, semacam puzzle yang terpecah namun saling terhubung dan terjalin. Namun demikian, ketidakpastian justru menimbulkan harapan akan adanya masa datang. Seperti demikianlah karya seni rupa diciptakan dan diapresiasi untuk terus-menerus membersamai dan merayakan kehidupan. Salam.

 

Mawaddatul Khusna Rizqika

Februari 2017

 

 

 

Click image to preview